Minimnya gerakan mahasiswa dalam mengkritisi persoalan-persoalan bangsa tidak terlepas dari budaya hedonis yang melilit mahasiswa. Betapa tidak, mahasiswa sekarang lebih akrab dengan kebiasaan kumpul bareng atau nongkrong di kafe, ketimbang bersahabat dengan budaya diskusi untuk memperbincangkan dan mencari solusi terhadap permasalahan bangsa.
Mereka lebih suka turun ke “mal-mal” yang penuh dengan budaya glamor dan lebih senang “berkeringat” disana daripada “berkeringat” dijalanan yang notabene tempat “perjuangan” para mahasiswa. Akibat budaya hedonis tersebut, mahasiswa jauh dari budaya berpikir kritis, bahkan mereka menjadi alergi dan antipati dalam merespons segala persoalan yang kini menggurita bangsa Indonesia. Selain itu virus budaya hedonis juga mengakibatkan pola pikir mahasiswa menjadi cenderung lebih pragmatis dan acuh tak acuh. Persoalan bangsa seolah-olah bukan urusan masyarakat termasuk mahasiswa, tetapi semata-mata adalah urusan para pejabat politik bangsa. Selama kita masih bisa hidup “nyaman” dan “nyawa masih dikandung badan” biarlah kita serahkan kepada mereka.
Menurut mereka perilaku mengkritik dan mencari solusi atas persoalan bangsa adalah suatu pekerjaan yang tidak ada gunanya, buang-buang tenaga dan sia-sia belaka. Ibaratnya walaupun kita mengaung-ngaung layaknya singa, tetap pelbagai persoalan tidak akan terpecahkan apalagi habis begitu saja.
Sekarang kita sebagai mahasiswa harus bisa membawa budaya hedonisme menjadi yang lebih bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar